Jokowi dan Bayang-Bayang Ijazah: Dari Sindiran Belakang Truk Hingga Dugaan Konspirasi
Jakarta, Viral7. Id
Hampir satu tahun pasca lengser dari jabatan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) menghadapi badai opini publik yang semakin menggila. Dari sindiran mural di tembok kota hingga tulisan satir di belakang truk-truk dan angkutan, masyarakat tampaknya tidak melepaskan sorotan tajam terhadap mantan orang nomor satu itu terutama dalam isu kontroversial soal keabsahan ijazahnya.
Rocky Gerung, pengamat politik dan akademisi, menilai bahwa fenomena ini bukan hanya soal olok-olok politik, tetapi mencerminkan gelombang kesadaran publik yang terus meningkat. “Ini era media sosial. Masyarakat di tingkat bawah sekalipun sekarang sangat well-informed,” ujar Rocky dalam satu perbincangan terkini.
Menurut Rocky, meski Jokowi masih berusaha mempertahankan citra melalui pengaruh buzzer, daya tahan mereka kian lemah menghadapi opini publik yang semakin kritis. Ia menyebut, salah satu strategi Jokowi adalah dengan menggiring isu ijazah ke ranah konspirasi politik. Namun publik tak lagi mudah dikelabui.
“Jokowi berupaya memframing kritik ini sebagai serangan politik, padahal yang bersuara adalah masyarakat sipil, aktivis, hingga akademisi yang meminta transparansi,” katanya. Bahkan disebutkan bahwa tekanan ini sudah mempengaruhi kondisi psikis mantan presiden, dengan munculnya dugaan gejala psikosomatik akibat tekanan publik yang berkelanjutan.
Fenomena menarik justru datang dari sindiran masyarakat bawah. Salah satu contoh satir yang sempat viral adalah tulisan di belakang sebuah truk yang berbunyi: “Dari Solo ke Pramuka, Plonga-plongo dan Suka Berdusta.” Menurut Rocky, ini adalah ekspresi politik rakyat yang otentik dan jujur, yang memperlihatkan betapa isu ijazah Jokowi telah menembus batas elit dan menjadi konsumsi publik luas.
“Ini bukan lagi sekadar isu hukum. Ini sudah jadi semacam counter-culture yang lahir dari keresahan dan kejenuhan masyarakat terhadap manipulasi elite,” ungkapnya.
Rocky juga menyoroti klaim Jokowi soal adanya “konspirasi besar” di balik gencarnya tuntutan terhadapnya. Namun, klaim itu dinilai tidak memiliki landasan argumentatif. “Kalau Presiden menyebut ada konspirasi, ya beliau harus membuktikan. Konspirasi seperti apa? Siapa yang terlibat? Jangan cuma lempar isu,” tegasnya.
Ia mengingatkan, Jokowi bukan warga biasa dia mantan presiden yang memiliki akses ke berbagai rahasia negara. Maka pernyataannya justru bisa memicu kekhawatiran lebih besar jika tidak disertai dengan klarifikasi yang konkret.
Tak hanya Jokowi, tekanan juga dirasakan oleh anggota keluarga lainnya. Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, masing-masing putra dan menantu Jokowi, kini turut disorot. Gibran menghadapi tuntutan pemakzulan terkait pencalonannya yang kontroversial, sementara Bobby sudah mulai dipanggil KPK. Dinasti politik Jokowi tampak sedang dikepung dari berbagai sisi.
Rocky menyebut ini sebagai momen kritis di mana publik menagih pertanggungjawaban moral dan hukum dari mantan pemimpin nasional.
Lebih dari sekadar isu ijazah, Rocky menekankan bahwa yang dipertaruhkan adalah nilai dasar demokrasi: kejujuran. “Seorang pemimpin, meskipun sudah lengser, tetap harus menjaga nobility-nya. Kalau tidak, justru makin terlihat bahwa selama ini kekuasaannya dibangun atas fondasi kebohongan,” ujarnya.
Ia mengajak publik untuk melihat kasus ini bukan sebagai perburuan politik, melainkan sebagai tuntutan etika. “Kalau memang ijazah itu sah, buktikan dengan terang benderang. Kalau tidak, ini akan jadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia ke depan,” pungkasnya.
Saat ini publik menunggu langkah selanjutnya: akankah Jokowi berani membuktikan klaimnya soal konspirasi? Ataukah justru arus tuntutan masyarakat sipil akan terus menguat hingga menjadi gelombang reformasi moral baru?
Yang jelas, sejarah sedang mencatat. Dan dalam catatan itu, kejujuran adalah mata uang yang tak bisa diganti buzzer ataupun framing politik.
(Suroso)