Desakan OTT Silvester Matutina Menguat, Kuasa Hukum Rismon CS Ingatkan Pemeriksaan Tak Boleh Lewat Magrib
Polemik dugaan ijazah palsu Joko Widodo kembali memunculkan pernyataan tegas dari pihak kuasa hukum sejumlah saksi. Dalam keterangannya kepada media, kuasa hukum menilai alasan pihak pelapor yang berlindung di balik dalih teknologi digital maupun kecerdasan buatan (AI) tidak masuk akal dan hanya mengaburkan substansi kasus.
“Kalau dalilnya terkait teknologi digital atau khawatir soal AI, itu tidak masuk akal. Contoh kasus Yusuf Kalla: keluarganya melaporkan video, dan langsung jelas siapa orang yang dimaksud, yakni Silvester Matutina,” ujarnya Khozinudin Kuasu Hukum Rismon Cs.
Dalam kesempatan itu, ia sekaligus memberikan apresiasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai berhasil menunjukkan kinerja nyata melalui operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Emmanuel Wamenaker, seorang pejabat yang terlibat kasus korupsi.
Namun, ia menegaskan bahwa langkah serupa juga harus dilakukan Kejaksaan terhadap Silvester Matutina, yang status hukumnya jauh lebih jelas. “Apa itu OTT? Operasi Tangkap Terpidana. Jangan sampai terpidana masih bisa berkeliaran. Emmanuel saja yang belum berstatus terpidana bisa ditangkap, masak Silvester yang sudah inkrah enam tahun tidak ditangkap dengan alasan sakit?” tegasnya.
Menurutnya, alasan sakit yang kerap dijadikan tameng hanyalah bentuk penghindaran dari kewajiban hukum. Ia bahkan menyampaikan kritik tajam dengan gaya satir. “Kalau pun benar sakit, bahkan mencret sekalipun, jaksa tetap harus menangkap karena itu kewenangan dan tanggung jawabnya,” ucapnya.
Selain menyoroti keberanian penegak hukum, pihak kuasa hukum juga mengingatkan agar proses pemeriksaan terhadap saksi maupun terlapor tidak dipaksakan hingga larut malam. Mereka menegaskan batas waktu pemeriksaan sebaiknya maksimal hingga menjelang magrib.
“Hari ini kami menegaskan, pemeriksaan maksimal hanya sampai magrib. Jika butuh tambahan waktu, bisa dijadwalkan ulang. Kami warga negara yang patuh hukum, tidak lari seperti Silvester Matutina. Dipanggil ulang pun tidak masalah,” jelasnya.
Ia mengingatkan, praktik pemeriksaan yang berlangsung hingga dini hari hanya akan menimbulkan kesan intimidatif dan melanggar prinsip kemanusiaan. Sebagai contoh, ia menyebut pengalaman saksi Sunarto yang diperiksa hingga lewat tengah malam. “Jangan sampai hal itu kembali terulang,” tegasnya.
Pernyataan ini juga dikaitkan dengan isu yang lebih luas, yakni ancaman terhadap kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, serta peran jurnalisme. Sebab, dalam kasus ijazah palsu Jokowi, sejumlah pihak yang hanya berperan sebagai perekam atau penyebar informasi pun turut ditarik menjadi saksi.
“Kalau publik hanya menyampaikan informasi, lalu ditarik menjadi pihak yang dituduh mencemarkan nama baik, maka ini ancaman serius bagi demokrasi,” katanya menutup pernyataan.